Kiai Mataraman Berkumpul di Tulungagung, Gelar Diskusi Tentang Demokrasi dan Pemilu 2024

Tulung Agung465 Dilihat

Tulungagung, Pilarsumsel.com – Para Kiai dari wilayah Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Blitar dan Jombang berkumpul di Pondok Pesantren (Ponpes) Hidayah Al Falah, Trenceng, Sumbergempol, Tulungagung. Sabtu (23/12/2023).

Buka hanya sekedar berkumpul, Kiai Mataraman ini ternyata menggelar diskusi umum yang mengangkat tema “Santri Bicara Demokrasi”.

Dalam diskusi umum itu, Kiai Mataraman juga membahas topik yang sedang hangat saat ini, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/2023 tentang syarat usia Capres-Cawapres dan netralitas Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pilpres 2024.

Salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Hidayah Al Falah Trenceng, Muhammad Alwi Hasan mengatakan, diskusi tersebut memiliki tujuan edukasi kepada para santri pentingnya memilih seorang pemimpin yang tepat.

Dalam kesempatan itu, dirinya mengajak para santri untuk jeli dalam memilih seorang pemimpin. Salah satunya dengan melihat track record (rekam jejak) seorang calon pemimpin.

“Kami ingin agar para santri ini tidak sekadar ikut-ikutan tetapi memang ada upaya pendekatan yang ilmiah. Tentunya harus tahu kriteria calon yang akan dipilih atau sejarah rekam jejak seseorang yang akan dipilih,” katanya.

Alwi menjelaskan, anggapan santri ‘Nderek Kiai’ yang berarti apapun perkataan sang guru, itulah yang dilakukan seyogianya tidak dimaknai sempit.

Dirinya beranggapan, dalam hal demokrasi terlebih memilih pemimpin, seorang santri harus dapat menentukan pilihan sesuai dengan pikiran dan hati nurani masing-masing.

“Santri ini merupakan perwujudan kebhinekaan. Para santri memiliki latar belakang yang beragam. Jadi kami harus mengajarkan demokrasi yang santun bukan yang arogan,” jelasnya.

Dalam diskusi yang dilakukan, para Kiai Mataraman juga membahas terkait putusan MK nomor 90/2023 tentang syarat usia Capres-Cawapres.

Dalam Putusan MK No. 90 telah menyatakan bahwa seseorang yang berusia di bawah 40 tahun dapat menjadi capres/cawapres asalkan pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada.

Menurut Alwi, putusan tersebut telah melanggar etika. Oleh sebab itu, pihaknya mengingatkan agar para santri dan masyarakat untuk jernih dalam berpikir agar tidak terhasut dengan cara-cara curang untuk mencapai sebuah tujuan.

“Kami memberikan bekal bagi para santri soal putusan MK itu. Soal nanti apakah ada people power atau gerakan lainnya, terserah masyarakat nanti,” tegasnya.

Alwi mengungkapkan, bahwa saat ini diduga ada Aparat Penegak Hukum (APH) yang tidak netral dalam proses demokrasi saat ini. Dengan cara melakukan sabotase, sehingga dapat menguntungkan salah satu pasangan calon (Paslon).

“Sebagai contoh kami juga menemukan adanya alat peraga kampanye (APK) salah satu paslon yang dipasang belum genap satu hari kemudian hilang begitu saja. Nah ini mengindikasikan adanya sabotase yang tentunya bisa menguntungkan salah satu paslon,” ungkapnya.

Sementara itu, Hj Abdul Wahab Yahya dari Ponpes Al Muhajirin 2 Bahrul Ulum Tambakberas Jombang yang juga hadir dalam diskusi tersebut berharap, agar para santri bisa benar-benar jernih dalam memilih Presiden Indonesia sesuai dengan kriteria dari nabi, yaitu pemimpin yang memiliki sifat, shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh.

“Mungkin pemimpin tidak bisa seluruhnya memenuhi kriteria tersebut, tapi setidaknya mendekati kriteria itu,” ujarnya.

Di sisi lain, Dosen Universitas Islam Kadiri (UNISKA), Moch Wakhid Hasyim mengatakan, dalam proses diskusi kali ini pihaknya memberikan edukasi terkait pelanggaran etika yang dilakukan oleh petinggi MK.

Meski demikian, dirinya juga menggarisbawahi bahwa putusan MK itu tetap dianggap sah dan legal. Hal ini, mengacu amanah konstitusi UU pasal 24 saja ayat 1.

“Putusan MK sendiri memiliki asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti putusan hakim harus dianggap benar, meskipun secara etika dianggap melanggar,” katanya.

Wakhid menuturkan, bahwa dengan kondisi yang terjadi saat ini, seorang santri harus tetap mengedepankan sikap demokratis.

Dirinya menegaskan, agar para santri dapat memantapkan pilihannya menggunakan hati nurani tanpa adanya intervensi.

“Sebagai santri harus melek demokrasi dengan putusan MK itu. Walaupun cacat etika,” tegasnya.

Terakhir, Wakhid mengajak para santri untuk menggunakan hati nurani dalam menentukan pilihan. Sebab, banyak orang yang punya hati tapi tidak punya nurani dan demokrasi adalah hak dari masing-masing santri.

Untuk diketahui, kegiatan Diskusi Umum Kiai Mataraman itu juga mengundang perwakilan dari 13 Pondok Pesantren dari Kabupaten Tulungagung diantaranya adalah sebagai berikut:

PP Hidayah Al Falah, PPTQ Al Fattah Tanggulwelahan, PP Al Falah Doroampel, PP Darunnajah Ngadirogo, PPTQ Al Anwari Aryojeding, PP Darussalam Bandung Tulungagung, Padepokan Selo Aji Campurdarat, Padepokan Gasmi Bandung Tulungagung, PP Jidarul Ummah Pakel, PP Darul Falah Bendiljati, PP Al Munawar Pandansari, dan PP Mbah Doel UIN Satu. (Dwi)