Penulis: Dr. Dadang Apriyanto, S.H., M.H.
Palembang,— Tujuh tahun sejak Perda Kota Palembang No. 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) diberlakukan, kota ini justru bergerak ke arah sebaliknya, sungai makin rusak, udara makin kotor, dan ruang hijau kian menghilang. Regulasi yang seharusnya menjadi benteng ekologis berubah menjadi dokumen tanpa daya, sementara pemerintah kota tampak lebih sibuk menjaga citra daripada lingkungan.
Perda ini diterbitkan dalam kerangka UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan pemerintah daerah menjamin kualitas lingkungan yang sehat, berkelanjutan, dan adil bagi warga serta memberikan sanksi tegas bagi pencemar. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya memperkuat kewajiban pengelolaan limbah industri dan pencemaran udara, sehingga Perda PPLH Palembang menjadi bagian dari regulasi nasional yang mengikat dan memberi dasar hukum kuat bagi penegakan lingkungan hidup.
Data pengawasan DLH Sumsel 2023-2024 menunjukkan tiga sungai utama, Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Keramasan berstatus tercemar berat. Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) melampaui baku mutu hingga empat kali lipat. Dari lebih 40 industri di bantaran sungai, sekitar sepertiganya tidak memiliki instalasi pengolahan limbah yang layak. Keluhan bau limbah dari Gandus hingga Kertapati menumpuk sejak 2021, tetapi tidak satu pun tindakan tegas diambil. Padahal Pasal 35 Perda PPLH mewajibkan pemenuhan baku mutu secara ketat.
Kualitas udara tak lebih baik. Pada kemarau 2024, Palembang mencatat AQI (Air Quality Index)150-170 atau kategori tidak sehat, dengan PM2.5 mencapai delapan kali ambang aman WHO. Kota ini masuk 10 besar udara terburuk di Indonesia, namun pengawasan sebagaimana mandat Pasal 21 Perda PPLH tidak pernah terlihat.
Ruang Terbuka Hijau juga merosot ke kisaran 9-11 persen, jauh dari kewajiban 30 persen. Dalam tujuh tahun terakhir, bukan perluasan RTH yang terjadi, melainkan konversi lahan untuk komersial. Pasal 6 yang menegaskan prinsip pembangunan berkelanjutan praktis tinggal slogan.
Yang paling mengkhawatirkan, penegakan hukum nyaris tidak ada. Sepanjang 2020–2024, DLH Kota Palembang tidak pernah mencabut izin lingkungan pelanggar berat. Sanksi tertinggi berupa paksaan pemerintah pun tak pernah dikeluarkan. Pelaku industri tentu membaca situasi ini: risiko penindakan hampir nol.
Ketika bau limbah malam hari, debu industri yang menempel di dinding rumah, hingga warna sungai yang berubah dianggap “biasa”, Palembang memasuki fase paling berbahaya: hilangnya kepekaan publik terhadap kerusakan ekologis.
Pada akhirnya, masalah lingkungan kota ini bukan soal lemahnya aturan, tetapi lemahnya keberanian. Pemerintah kota, Dinas Lingkungan Hidup, aparat penegak hukum, dan pelaku usaha berada dalam lingkar tanggung jawab yang sama tetapi semuanya memilih aman.
Selama political will tetap serendah ini, Palembang akan terus membusuk pelan. Harga yang dibayar bukan hanya kualitas hidup hari ini, tetapi masa depan kota ini sendiri.(*)



