Koruptor Dapat Rehabilitasi, Amnesti, dan Abolisi?
Oleh: Abdullah Hehamahua
SELAMA 80 tahun usia Indonesia, tidak ada presiden yang memberi rehabilitasi,
amnesti, dan abolisi terhadap koruptor. Soekarno meninggal dalam status tahanan rumah.
Padahal, selain peristiwa G30/PKI, Soekarno juga terlibat dalam pelbagai
kegiatan KKN.
Hal ini antara lain dapat dilihat di LHKPN Megawati dan BAP beberapa Menteri Soekarno saat proses pemeriksaan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) waktu itu.
Soeharto, sekalipun tahu kesalahan Soekarno tersebut, dan bisa saja menerbitkan kebijakan rehabilitasi, amnesti atau abolisi. Sebab, selain sebagai proklamator, Soekarno juga adalah Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi ABRI, bahkan sebagai presiden seumur hidup waktu itu. Namun, Soeharto tidak melakukan hal itu.
Habibie, anak kesayangan Soeharto, tidak memberi rehabilitasi, amnesti, dan
abolisi terhadap mantan bosnya tersebut. Soeharto tetap diproses di Pengadilan Jakarta Pusat. Gus Dur pun tidak memberi rehabilitasi, amnesti, dan abolisi terhadap Soeharto. Dalam proses persidangan, dokter memberi keterangan bahwa Soeharto mengalami gangguan otak permanen.
Kejaksaan Agung lalu menggunakan hak konstitusionalnya dengan menerbitkan
Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP)). Namun, Kejagung memproseshukum secara perdata keluarga Soeharto dan menjatuhkan hukuman ganti rugi sejumlah miliar rupiah terhadap negara.
Kasus kedua ketika Mabes Polri mentersangkakan Abraham Samad dan
Bambang Widjojanto, Ketua dan Wakil Ketua KPK. Namun, Presiden SBY sangat
mendukung langkah KPK. Hal ini dibuktikan ketika besannya ditangkap KPK, SBY tidak bereaksi negatif terhadap KPK.
Ia juga tidak bereaksi negatif terhadap KPK ketika Ketua Umum dan Bendahara Umum partainya ditangkap KPK. Bahkan SBY meminta Polri membantu KPK dalam memburu Nazarudin, Bendahara Umum partainya. Akhirnya Nazarudin ditangkap KPK di Kolombia.
SBY dengan kearifannya sebagai Kepala Negara, bukan Kepala Pemerintahan,
memahami bahwa apa yang terjadi terhadap Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto adalah proses kriminalisasi. Sebab, mereka akan memproses Ketua Umum Partai yang terlibat kasus BLBI.
Oleh kaena itu SBY menyarankan Kejagung menggunakan hak konstitusionalnya. Otomatis Kejagung menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penununtutan (SKPP). Itulah SBY, salah seorang presiden yang memahami hukum dan pelbagai bentuk KKN.
Namun beberapa tahun ke depan, korupsi di Indonesia dikhawatirkan akan semakin marak. Sebab, pejabat eksekutif. legislatif, yudikatif, dan BUMN/BUMD akan berpikir, kalau tokh diketahui korupsi, mereka akan mendapat rehabilitasi. amnesti, dan abolisi. Dampak negatifnya, tahun 2045, bukan ditemukan Indonesia Emas tapi Indonesia cemas. Tragis !!!
Abdullah Hehamahua adalah mantan penasihat KPK.



