Oleh : Dahlan Iskan
TAHUN ini di Roma, Italia. Tahun depan di Bali, Indonesia Usul saya: jangan dilaksanakan di bulan Oktober atau November.
Baca Juga : Madu Pemakaman
Lalu saya lihat Google-weather. Berapa suhu di Bali tanggal 1 November tahun depan. Panas sekali: 33 derajat, feel-nya 39 derajat.
Lalu saya bandingkan dengan suhu di kota Roma kemarin. Ketika pertemuan puncak G20 ditutup di sana. Luar biasa sejuknya: 16 derajat Celsius. Tertingginya, 22 derajat. Feel-nya pun 16 derajat.
Para kepala negara yang dua hari bersidang di sana tentu terasa nyaman. Tahun depan mereka akan bersidang di Bali. Tentu di ruang ber-AC. Tapi kita kan ingin memberikan kesan terbaik. Apalagi yang datang adalah pimpinan dari 20 negara terbesar ekonominya di dunia.
Presiden Jokowi menjadi Ketua G20-nya. Biasanya pandai sekali memperhitungkan dampak kesan yang harus dibangun.
Bagaimana kalau akhir Agustus atau awal September? Suhu di bulan itu, di Bali, masih sangat baik. Tentu yang terbaik adalah Juli-Agustus. Saat itu Australia lagi di puncak musim dingin. Pun di Jatim-Jateng, minyak kelapa bisa membeku di waktu subuh –musim yang disebut mbediding.
Bisakah Summit G20 digeser dari akhir Oktober?
Mungkin sulit. Summit tahun 2018 (Buenos Aires), 2020 (Riyadh), dan 2021 (Roma) dilangsungkan Oktober- November. Tapi Summit tahun 2019 (Osaka), dilangsungkan bulan Juli.
Saya pernah menjadi anggota panitia pertemuan internasional di Bali. Di bulan Oktober. Tugas saya menjemput dua perdana menteri. Di jam yang berbeda. Panitia lain menjemput tamu yang lain lagi. Saya harus pakai jas lengkap. Di bandara Ngurah Rai. Ampuuun. Ganteng di luar, mendidih di dalam.
Tapi untuk menyelenggarakan Summit G20, panas itu akan kalah dengan semangat dan bangga. Toh tamu-tamu itu juga pernah merasakan musim panas di negara masing-masing.
Seberapa penting menjadi tuan rumah/ketua G20?
Tentu penting sekali. Apalagi Indonesia ingin memperjuangkan kepahlawanan di bidang pengurangan emisi. Sampai-sampai begitu tinggi komitmen Indonesia di bidang itu. Padahal untuk mencapainya benar-benar perlu kerja gila. Harus ada ”roket baru” untuk mencapai angka fantastis itu.
Karena itu KTT G20 di Bali nanti begitu pentingnya. Apalagi kalau Indonesia bisa membuktikan targetnya.
Hampir saja Summit G20 kehilangan relevansi. Tahun 2018 KTT itu di-torpedo oleh Presiden Donald Trump.
Trump begitu meremehkan forum G20. Summit di Argentina itu benar-benar tenggelam oleh pertemuan dua seteru: Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping.
Suasana Summit tahun berikutnya pun, di Osaka, masih serba tidak enak. Trump memang masih mau hadir, tapi ia bikin panggung sendiri di Osaka. Ia umumkan rencana pertemuannya yang mengejutkan dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un. Ia tingkatkan perang dagang dengan Tiongkok. Ia perkuat sikapnya keluar dari perjanjian Paris.
G20 di Osaka juga ”kacau” oleh kehadiran Pangeran Mohamad Bin Salman. Yang waktu itu lagi ramai dianggap terlibat pembunuhan wartawan Jamal Kashogi di Istanbul.
Padahal salah satu fokus utama G20 adalah perubahan iklim. Di situlah Indonesia menjadi penting. Sebagai pemilik lahan hijau yang menjadi paru-paru terbesar dunia.
“Dunia semakin mengakui Indonesia punya peran besar dalam perubahan iklim,” ujar Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan saat bicara lewat telepon dengan saya minggu lalu. Ia lagi berada di London, sebelum bergabung ke Roma. Ia baru saja melakukan pembicaraan langsung dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Suasana Summit G20 di Roma kemarin sudah lebih baik. Trump sudah diganti Joe Biden. Amerika sudah kembali mengikatkan diri pada Kesepakatan Paris. Utusan Saudi dipimpin sendiri oleh Raja Salman.
Relevansi G20 kelihatannya masih bisa terus terjaga. Itu karena misi utamanya adalah perubahan iklim. Akan abadi.
Forum besar yang sudah hilang adalah KTT Nonblok.
Saya sempat ikut rombongan Presiden Soeharto ke KTT Nonblok di Beograd, ibu kota Yugoslavia. Biar pun itu forum KTT, beritanya tidak muncul di media Barat. Sama sekali. Dianggap tidak penting.
Seorang teman dari Barat mengejek saya: KTT Nonblok itu penting untuk konsumsi negara masing-masing.
Ia pun berdalih: lihatlah sidang pleno itu. Kosong. Kalau seorang kepala negara berpidato wartawan yang hadir hanya yang dari negara tersebut.
Bagi negara itu KTT sudah selesai begitu presidennya sudah pidato. Ya juga sih. Saya juga tidak mau hadir di pleno itu. Kalau yang berpidato presiden dari negara lain. Yang isi pidatonya lebih banyak untuk dijadikan berita di dalam negeri masing-masing.
Pak Harto sendiri sangat sibuk. Pak Harto mendapat ruang khusus di gedung itu. Di situlah Pak Harto menerima kepala negara lain yang ingin bertemu.
Saya juga di situ. Untuk meliput apa saja yang dibicarakan kedua kepala negara. Hanya satu hari saya meninggalkan arena KTT Nonblok. Yakni ketika saya termasuk yang mendapat kesempatan bertemu Muamar Gaddafi (Khadafi), pemimpin Libya saat itu.
Gaddafi tidak mau tinggal di hotel. Ia tinggal di tenda. Ada onta di dekat tenda itu.
Semua kepala negara punya acara yang padat di forum seperti itu. Di luar forum. Tempulu para kepala negara berada di satu kota.
KTT Nonblok akhirnya hanya jadi forum caci maki di podium internasional. KTT G20 tentu beda. Ini KTT-nya orang kaya. Baru boleh hadir saja sudah bangga: berarti sudah kaya. Apalagi bisa jadi tuan rumahnya. Dan jadi ketuanya.
Saya juga pernah menjadi anggota rombongan ke KTT G20. Zaman Presiden SBY. Ketika Indonesia kali pertama diterima sebagai anggota G20.
Kebanggaan waktu itu: kok ternyata Indonesia sudah bisa menjadi negara nomor 16 terbesar di dunia
Kebanggaan lain: Indonesia sudah masuk negara yang GDP-nya di atas USD 1 triliun. Sudah mengalahkan Belanda.
Ternyata G20 bukan ”kelompok di atas USD 1 triliun”. GDP Arab Saudi dan Turki belum 1 triliun. Tapi jadi anggota. Afrika Selatan masih jauh dari 1 triliun. Juga jadi anggota.
Karena itu Spanyol marah-marah. Meski belum 1 triliun tapi Spanyol itu negara terbesar ke-4 di Eropa. Akhirnya Spanyol diikutkan KTT, tiap tahun, sebagai undangan.
Norwegia juga marah-marah. Kurang maju apa Norwegia. Pendapatan per kapita penduduknya sudah di atas USD 50.000/tahun. Kok tidak bisa diterima.
Sampai sekarang Norwegia belum diundang.
Saya usul, sebagai tuan rumah, Indonesia mengundang Norwegia dan Belanda. Banyak agenda di luar KTT yang bisa dibahas.
Pun di Bali tahun depan. Pasti banyak agenda penting di luar KTT. Jangan-jangan justru yang di luar KTT itu yang hasilnya lebih banyak.
Atau biar saja KTT G20 tahun depan tetap bulan Oktober-November. Biar semua merasakan seperti itulah kalau iklim tidak berhasil dikendalikan.(Dahlan Iskan)