Mencuri Ninja

Berita1704 Dilihat

Oleh : Dahlan Iskan

MENDENGAR nama Cyber Ninjas siapa pun akan bilang wow. Mirip ketika saya mendengar ada orang yang tiba-tiba bikin koran dengan nama Buser –Buru Sergap. Atau Harian KPK –lupa kepanjangan dari singkatan itu.

Apalagi CEO Cyber Ninjas itu, Doug Logan, pernah mengatakan ada 30.000 suara yang sangat mencurigakan di dapil Maricopa, Arizona. Logan pun mendapat kontrak: untuk meninjau ulang surat suara di Pilpres Amerika Serikat, November 2020.

Yang memberi order adalah Senat negara bagian Arizona –yang dikuasai Partai Republik.

Sebenarnya hitung ulang sudah pernah dilakukan di distrik itu. Tapi hasilnya tidak memuaskan pendukung mantan Presiden Donald Trump: tetap kalah.

Setelah gagal lagi dan gagal lagi itu perlu usaha yang lebih serius. Jangan lagi sekadar dihitung ulang. Harus dilakukan tinjau ulang sampai detail. Sampai ke sistem komputer penghitungan suara.

Ditunjuklah kontraktor untuk meninjau hasil Pemilu: Cyber Ninjas. Kontraktor mengangkat juga sub-sub kontraktor.

Secara resmi Cyber Ninjas hanya dapat anggaran USD 150.000. Tapi dukungan dari perorangan jauh lebih besar dari itu. Media di Amerika menyebut sampai angka USD 1,5 juta.

Cyber Ninjas adalah perusahaan swasta. Memang bergerak di bidang keamanan cyber. Sebelum dapat order dari Arizona itu praktis tidak ada yang kenal nama Cyber Ninjas. Tapi begitu ditunjuk Arizona, namanya melangit. Termasuk nama Logan sendiri.

Maka semua daerah yang ingin mempersoalkan hasil Pilpres menunggu dengan degup hasil kerja Cyber Ninjas di Arizona. Mereka sudah ancang-ancang untuk juga minta Cyber Ninjas turun tangan di daerah mereka.

Saya kenal baik distrik ini. Kantor pusat Freeport ada di sini. Kota Tempe sangat menyenangkan –tetangga Phoenix itu.

Pokoknya Donald Trump dan pendukungnya di Arizona tetap belum bisa move on. Mereka ngotot Pilpres yang lalu itu penuh kecurangan. Kemenangan Trump telah dirampok. Puluhan ribu suara misterius, ikut memenangkan Joe Biden.

Padahal dari penghitungan ulang di berbagai negara bagian tetap saja sama: Trump kalah. Demikian juga upaya gugatan ke pengadilan di banyak kota: tetap kalah.

Kali ini lain: ninja yang turun tangan. Waktu yang diberikan kepada Cyber Ninjas pun panjang: sejak April tahun 2021.

Hasilnya baru keluar dua hari lalu: Trump kalah.

Tapi Cyber Ninjas tidak mengatakan begitu di laporan akhirnya. Yang dilaporkan adalah: perlunya penyempurnaan sistem Pilpres yang akan datang.

Hasil laporan Cyber Ninjas itu diberikan ke Senat yang memberinya kerja. Tapi beredar juga versi yang sudah ditukangi: Cyber Ninjas telah menemukan berbagai kecurangan sehingga sistem Pilpres mendatang harus disempurnakan.

Saya kagum pada dua-duanya: begitu gigih pihak Trump mempersoalkan hasil Pilpres. Tapi begitu jujur juga Pilpres di sana. Sampai pun diselidiki tingkat ninja tidak juga ditemukan kecurangan.

Padahal sebagian besar surat suara itu dikirim lewat pos. Kok ya jujur semua. Padahal surat suara yang mencurigakan itu sudah disisihkan. Dipilah. Dicocokkan dengan alamat, nomor penduduk sampai pun diselidiki nama orang tua mereka.

Jujur kok sampai segitunya.

Saya pun ingat perbuatan memalukan yang pernah saya lakukan di Amerika. Yang berhubungan dengan ketidakjujuran itu.

Kejadiannya 40-an tahun lalu.

Saya lagi belajar bahasa Inggris di Santa Barbara, pertengahan San Francisco –Los Angeles. Saya tinggal di rumah orang Amerika –kulit putih.

Kejadiannya sendiri di kelas –waktu belajar. Teman sekelas saya dari berbagai negara yang berbahasa non-Inggris.

Saya naik bus kota ke kelas itu. Hari itu saya tidak membawa buku atau kertas.

Ketika ada tugas menulis saya celingukan. Gurunya lagi keluar kelas. Saya lihat begitu banyak kertas di meja guru itu. Saya berdiri untuk mengambilnya satu lembar.

Saat mengambil kertas itulah guru saya masuk kelas. Ia berhenti. Seperti tertegun. Matanya melihat saya. Tatapannya penuh keheranan.

“Anda mengambil kertas dari meja saya?” katanya.

“Iya. Hanya satu lembar,” jawab saya.

“Kenapa tidak minta izin?” katanya lagi.

“Anda lagi tidak ada tadi,” jawab saya.

“Tapi itu kan bukan milikmu?” katanya lagi.

Saya lemas.

Kalimat terakhirnya itu menyadarkan saya bahwa saya telah mencuri. Saya tidak bisa berkata-kata lagi. Saya tahu perbuatan seperti itu tidak bisa dimaafkan. Ditonton pula orang satu kelas.

Mencuri adalah mencuri. Pun satu lembar kertas. Pun saya sudah membayar mahal kursus itu –termasuk membayar mahal guru itu.

Mencuri adalah mencuri.

Pun untuk satu lembar kertas.

Kata-kata itu, peristiwa itu, filsafat kejujuran di baliknya membekas sangat dalam. Melebihi pelajaran fikih Islam yang diajarkan selama 6 tahun di madrasah.

Itu bukan soal dosa.

Itu masalah mengambil barang yang bukan milik saya.

Mencuri adalah mencuri.

Sejak peristiwa itu saya tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Pun sampai pulang. Adegan itu begitu hidupnya di benak saya –sampai pun 40 tahun kemudian.

Saya gagal belajar bahasa Inggris. Saya tetap tidak bisa tahu apa arti ”hotel” yang dimaksud dalam syair lagu Hotel California.

Berkali-kali, selama kursus itu, saya harus mendengarkan lagu tersebut. Di lab bahasanya. Pakai earphone. Tetap tak bisa tahu apa arti kata itu.

Untunglah belakangan ada lagu Hotel Kalioso yang dinyanyikan sebagai Hotel California. Saya mengerti sepenuhnya artinya: kan pakai bahasa Jawa. (Dahlan Iskan)