Oleh : Fadillah
(Lahir, Lubuklinggau, 20 Juni 1998)
Selama dua tahun terakhir, pandemi Covid-19 bukan menjadi persoalan yang hanya mengganggu sektor kesehatan, namun virus tersebut merupakan persoalan multi-dimensi dari berbagai bidang, sebut saja sektor ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dan sebagainya.
Pengaruh virus tersebut jelas menunjukkan suatu perubahan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanpa kita sadari, aktivitas masyarakat sebagai dampak virus tersebut telah mengarah pada percepatan adaptasi Revolusi Industri 4.0.
tergantikan dengan teknologi baru. Namun, revolusi industri yang tumbuh dengan cepat, terkadang menimbulkan dilema. Bahkan, di masa pandemi ini memaksa semua orang harus bisa menggunakan teknologi sehingga situasi itu bagaikan pisau bermata dua.
Dalam konteks pendidikan, transisi mobilitas ke arah penggunaan teknologi sudah terjadi. Perubahan media pembelajaran dari ruang kelas ke ruang online seperti aplikasi zoom, mengharuskan semua pelajar dan pendidik wajib bisa menggunakannya. Demikian juga pada bidang kewirausahaan, yang ditandai dengan meningkatnya pengguna e-commerce. Selama pandemi sebanyak 12-18 juta pengguna sampai akhir 2021.
Jelas, perubahan ini harus dimaksimalkan dan akan sulit bagi kelompok masyarakat yang menolak perubahan tersebut. Jika kita tidak siaga, perubahan ini berdampak lebih luas pada ketenagakerjaan, yang dapat menghilangkan lapangan kerja, tetapi juga mampu menciptakan lapangan kerja baru. Hal ini disebabkan penggunaan SDM akan dikurangi untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan saat pandemi.
Tercatat, selama tahun 2020 hingga pertengahan 2021, sebanyak 9,77 juta jiwa pekerja di-PHK. Dampak PHK itu membuat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia cenderung meningkat sebesar 1,79 persen dari tahun 2019 yang tercatat 5,28 persen menjadi 7,07 persen pada akhir 2020.
Teknologi yang terus berkembang dan berdampingan dengan setiap aktivitas masyarakat, membuat Indonesia harus bersiap dalam menghilangkan kesenjangan ini. Total penduduk Indonesia tercatat sebanyak 270,2 juta jiwa, sekitar 68,75 persen penduduk berumur 15-64 tahun. Ini menunjukkan bahwa kelompok usia produktif di Indonesia jauh lebih tinggi dari usia non-produktif yang hanya 24,5 persen (kelompok usia 0-14 tahun) dan 6,75 persen (kelompok usia 65+ tahun) (BPS, 2021).
Kesempatan ini seharusnya dimanfaatkan dengan baik. Namun, terbukti sejak pandemi melanda, Indonesia sulit untuk bangkit karena masih dalam cengkraman dampak pandemi. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti transisi pada bidang teknologi 4.0 yang tidak disambut dengan siap oleh SDM Indonesia. Bahkan, sangat sedikit angkatan kerja yang memiliki keterampilan yang sesuai dengan lapangan kerja baru yang diciptakan pada saat ini. Kalau pun ada pekerja yang mendapatkan kerja, realitanya pekerja itu sulit untuk mencapai tingkat produktivitas dalam bekerja. Fenomena ini sama saja menunjukkan pekerja di Indonesia masih berada pada golongan pengangguran terselubung.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika kelompok usia produktif kita tidak bergantung pada lapangan perkerjaan yang ada, namun justru mampu membuka lapangan kerja sendiri dengan memanfaatkan peluang dalam kemajuan teknologi. Mahasiswa yang menjadi salah satu kelompok usia produktif harus melek teknologi. Bukan hanya sekadar bisa menggunakan teknologi, akan tetapi bisa mengembangkan teknologi itu serta mendesain teknologi baru yang lebih bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan pengembangan pengetahuan.
Maka, dengan perubahan zaman dan transisi revolusi industri yang pesat, SDM Indonesia dituntut untuk dapat menggunakan teknologi serta mampu mengadopsi inovasi pengembangan ilmu pengetahuan.
Ke depan, tentunnya semua pihak, terutama lembaga pendidikan di Indonesia akan terus menyiapkan generasi milenial yang unggul dan berdaya saing di era revolusi industri 4.0. Di samping itu, masyarakat harus beradaptasi dalam perkembangan zaman, terutama mengandalkan digitalisasi pada semua aktivitas.
Walaupun Indonesia telah menjalankan era revolusi industri dengan mengikuti perubahan-perubahan teknologinya, tetapi jika SDM yang tidak disiapkan dengan baik maka ini dapat menjadi petaka bagi negara. Dalam menakar SDM Indonesia untuk menghadapi era revolusi, apapun bentuknya, sangat membutuhkan strategi yang tepat serta political will dan political action dari seluruh jajaran pemerintahan, dukungan rakyat, dan dukungan dari lembaga serta pemangku kepentingan lainnya. (Abi Fadilla, Mahasiswa MEP FEB UGM