Oleh : Dedy Kariema Jaya, SP (*)
Gugatan mengenai sistem pemilihan umum (pemilu) yang diusulkan untuk menerapkan sistem proporsional daftar calon tertutup pada Pemilu 2024, kian mencuat dan ramai diperbincangkan masyarakat luas. Isu ini bahkan sudah mulai hangat dan menjadi perbincangan sejak awal tahun ini, tepatnya saat sejumlah penggiat pemilu mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun gugatan uji materi UU Pemilu tersebut difokuskan pada Pasal 168 ayat (2), pasal 342 ayat (2), pasal 353 ayat (1) huruf b, pasal 386 ayat (2) huruf b, pasal 420 huruf c dan d, pasal 422, pasal 424 ayat (2) serta pasal 426 ayat (3). Poin gugatannya menyatakan bahwa frasa terbuka pada pasal 168 ayat (2) dan seterusnya, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adanya frasa proporsional terbuka, nomor urut, nama calon dan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak menunjukkan kekuatan perseorangan dalam proses Pemilu.
Atas gugatan tersebut, Pemilu 2024 berpeluang akan dilakukan dengan sistem proporsional tertutup apabila MK mengabulkan gugatan yang diajukan pemohon. Peluang perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup ini, diperkuat dengan pernyataan Ketua KPU RI, Hasyim Ashari saat menyampaikan pidato dalam acara catatan akhir tahun 2022 di Kantor KPU RI. Tak lupa, Hasyim pun mewanti-wanti calon kandidat bakal calon anggota legislatif (bacaleg) agar tidak buru-buru memasang baleho sosialisasi.
Meski menuai kritik ‘pernyataan offside’ dari sejumlah petinggi parpol, pesan Ketua KPU RI periode 2022-2027 ini sepertinya banyak diikuti oleh para kandidat bacaleg. Buktinya, hingga kini papan reklame ‘liar’ di jalan raya yang memuat gambar bacaleg terbilang masih sangat sepi. Berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya, perang baleho biasanya sudah dimulai satu tahun sebelum hari pencoblosan. Bahkan sinyal keragu-raguan dari bacaleg untuk mengikuti kontestasi Pemilu Serentak 2024, kian menguat khususnya bagi penantang baru. Tak sedikit bacaleg penantang baru, dikabarkan menarik diri dari bursa pencalonan.
Kondisi ini cukup merepotkan sebagian parpol peserta Pemilu 2024 untuk mencukupi kuota pengajuan daftar nama-nama bacaleg. Hingga kini, masih banyak parpol yang belum mendaftarkan nama-nama bacaleg akibat harus mengganti nama bacaleg yang mundur. Padahal KPU telah mengumumkan penerimaan daftar bacaleg sejak 1 Mei lalu dan bakal ditutup 14 Mei mendatang. Munculnya isu pengunduran diri bacaleg penantang baru ini dinilai wajar, pemilih hanya mencoblos tanda gambar parpol. Dengan kata lain, kursi pemenang pemilu pada sistem proporsional tertutup ditentukan berdasarkan nomor urut yang sudah disusun parpol.
Berbeda dengan sistem pemilu terbuka, pemenang pemilu ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Sebab pemilih dapat nama caleg atau mencoblos secara langsung gambar caleg yang disusun. Hal ini memungkingkan kader parpol yang tumbuh dari bawah, bisa menang karena adanya dukungan massa. Setiap kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa sehingga terbangun kedekatan antara pemilih dengan orang yang dipilih. Disisi lain, penerapan sistem pemilu proporsinal terbuka pun banyak kekurangan diantaranya memunculkan politik uang yang masif dan diketahui secara terang-terangan oleh banyak orang, membutuhkan modal besar untuk bisa meraih kursi, rumitnya perhitungan hasil suara serta sulitnya menegakkan kuota gender dan etnis minoritas.
Adapun dampak dari penerapan sistem pemilu proporsional tertutup, memungkinkan dominasi kursi legislator oleh kader yang mengakar ke atas karena kedekatannya dengan elite parpol dan bukan dukungan massa. Kekurangan lainnya, pemilih tidak punya peran dalan menentukan wakilnya dari parpol mereka, sehingga menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pasca pemilu. Meski begitu, sistem pemilu proporsional tertutup dapat memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena parpol yang menentukan caleg, Kemudian dapat meminimalisir praktik politik uang secara masif yang melibatkan banyak orang.
Kedua sistem pemilu tersebut, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup sudah pernah diterapkan pada Pemilu di Indonesia. Dimana penerapan sistem pemilu proporsional terbuka telah berlangsung sejak 2004, 2009, 2014 dan 2019. Sedangkan sistem pemilu proporsional tertutup, dilaksanakan pada Pemilu 1999, Pemilu era orde baru dan orde lama. Untuk Pemilu 2024, kepastian dalam menerapkan sistem pemilu masih menunggu keputusan MK yang masih memproses pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hingga kini, MK setidaknya telah mengadenda beberapa kali sidang sejak gugatan diajukan oleh pemohon. Terbaru, Rabu (05/04/2023), MK telah melaksanakan sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh pemohon. Sidang akan dilanjutkan kembali pada tanggal 12 April 2023 untuk mendengarkan keterangan ahli.
Berkaitan dengan sidang agenda tersebut, Hakim Konstitusi Arif Hidayat menyampaikan kemungkinan sistem pemilihan umum menggunakan sistem hybrid. Karena penerapan pemilu dengan cara memilih partai dan berubah menjadi memilih calon anggota DPR/DPRD, memiliki dampak negatif dan positif.Makanya, perlu meninggalkan yang buruk pada sistem proporsional terbuka maupun tertutup, Sebaliknya, perlu memadu padankan hal-hal yang baik pada kedua sistem pemilu menjadi sistem khas asli Indonesia. Yakni, sistem pemilu proporsional terbuka yang memilih secara langsung para calon adalah untuk pemilihan pasangan presiden – wakil presiden dan pemilihan anggota DPD. Kemudian pemilihan anggota DPR/DPRD adalah dengan menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup yaitu rakyat dapat memilih parpol. Kemudian para anggota DPR/DPRD dipilih oleh parpol berdasarkan nomor urut masing-masing. (**)
(*) Penulis adalah wartawan bersertifikasi/kompeten tingkat Utama, pemimpin redaksi (Pemred) Harian Umum Musirawas Ekspres (2018-2020), wartawan politik Harian Umum Musirawas Ekspres (2011-2018), Pemred Media Online Beligat (2020 – sekarang)