Babat Supat, Muba —
Sengketa lahan antara kelompok warga Lilis Sidabutar CS dengan PT Sepakat Siantar (SS) dan perusahaan tambang batu bara PT Arthaco Prima Energy (APE) kembali memanas. Pada Jumat (31/10/2025), puluhan warga kembali mendatangi lokasi tambang di Desa Gajah Mati, Kecamatan Babat Supat, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, untuk menuntut penghentian sementara seluruh aktivitas tambang hingga adanya putusan tetap dari Pengadilan Negeri Sekayu.
Aksi ini merupakan lanjutan dari demonstrasi sebelumnya pada Selasa (28/10/2025). Warga menilai pihak perusahaan telah mengabaikan tuntutan mereka dan tetap beroperasi di atas lahan yang masih berstatus sengketa. Dalam aksi tersebut, warga juga berencana memperbaiki blokade yang sebelumnya mereka pasang di area yang diklaim sebagai lahan milik mereka.
“Kami hanya meminta hak kami. Silakan perusahaan beroperasi di lahan lain yang katanya punya HGU 1.300 hektare. Kenapa harus di lahan kami yang sedang berproses di pengadilan?” ujar Tahan Hamonangan Sihaloho, salah satu warga penggugat.
Sementara itu, Andial, SH, selaku koordinator lapangan aksi, menegaskan bahwa perusahaan seharusnya menghormati proses hukum dan menahan diri dari aktivitas di lahan yang belum memiliki kepastian hukum.
“Selama proses hukum berlangsung, status kepemilikan lahan belum jelas. Menambang di atas lahan yang digugat warga dapat dianggap sebagai penyerobotan dan pelanggaran hukum perdata,” tegas Andial.
Kuasa hukum warga, Dadi Junaidi, SH dari Kantor Penasihat Hukum DEJE, SH & Rekan, juga menegaskan bahwa langkah hukum telah ditempuh secara sah. Ia berharap semua pihak menghormati proses tersebut.
“Kami meminta agar perusahaan menghormati asas hukum dan menunggu keputusan pengadilan. Ini penting untuk menghindari potensi konflik serta menjaga marwah hukum,” ujarnya.
Dalam aksi itu, Kapolsek Babat Supat, Iptu Marlin, SH, bersama personel kepolisian turun langsung untuk menjaga situasi tetap kondusif.
“Kami melakukan pengamanan agar aksi berjalan tertib. Penyampaian pendapat adalah hak warga, namun harus sesuai aturan dan tanpa kekerasan,” ujar Iptu Marlin.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan belum memberikan keterangan resmi. Namun, Askep PT Sepakat, Herman, saat dikonfirmasi, menyatakan bahwa pihaknya memilih menunggu putusan pengadilan sebagai dasar tindak lanjut selanjutnya.
Dari pantauan di lokasi, warga akhirnya hanya diizinkan masuk empat orang untuk memperbaiki blokade kayu yang sempat rusak. Aksi berjalan damai dan warga membubarkan diri dengan pengawalan aparat kepolisian. Meski begitu, mereka menegaskan akan terus memperjuangkan hak atas lahan tersebut hingga ada putusan hukum yang memberikan kejelasan dan keadilan.
“Ironis, kami sudah lama menunggu keadilan, tapi sampai kini belum juga kami rasakan,” tutur Lilis Sidabutar sebelum meninggalkan lokasi tambang(*)
Editor: Heriyanto










